Penjiplakan, Puncak Gunung Es
Jumat, 19 Februari 2010 | 03:49 WIB
Jakarta, Kompas - Kegiatan jiplak-menjiplak karya ilmiah merupakan puncak gunung es ketidakjujuran dalam jagat pendidikan. Skripsi mahasiswa yang sebagian merupakan jiplakan dengan cara copy/cut and paste, serta contek-mencontek dalam ujian, sudah dianggap lumrah.
Dengan demikian, ketidakjujuran itu sudah merambah hampir ke semua jenjang pendidikan. ”Ketidakjujuran ini sudah holistik, mengakar, merambah keluarga, masyarakat, dunia pendidikan, dan pemerintahan. Ini cermin dekadensi moral,” ujar Dr William Chang, pakar etika sosial, alumnus Universitas Gregoriana dan Universitas Lateran (Roma), saat dihubungi Kompas, Kamis (18/2).
Pepatah mengatakan, Non scholae sed viate discimus (Seneca, Epist. 106.11), manusia belajar bukan untuk sekadar memperoleh nilai berupa angka-angka yang kadang bersifat relatif dan subyektif, tetapi manusia belajar untuk hidup. Yang utama adalah nilai-nilai untuk mendukung hidup manusia.
Dia menambahkan, plagiat adalah tindak kebohongan dan akan cepat diketahui. Maka, pendidikan formal perlu mengambil langkah edukatif bagi para plagiator. Komersialisasi di bidang karya ilmiah sudah semarak. Akhirnya, lahir sarjana-sarjana bertitel panjang, tetapi bobot ilmiahnya rendah. Plagiat termasuk tamparan tragis dunia pendidikan formal kita jika kasus ini dibiarkan.
Masyarakat sering bertanya, kapan pejabat itu kuliah dan membuat tesis, kok, mendadak bergelar doktor.
Pendapat Saya
Menurut saya seharusnya para plagiator plagiator tersebut harus ditanamkan jiwa kejujuran sejak pertama dari pendidikan dasar. Serta para guru dan dosen harus memperhatikan nilai dari kejujuran tersebut, jadi tidak sembarangan memberikan nilai bagus hanya karena jawaban ataupun tugas itu bagus dan rapih, namun juga memperhatikan bagaimana mahasiswa atau murid mengerjakannya, karena bias saja tugas mahasiswa atau murid yang bagus tsb dikerjakan dengan curang dan yang tidak terlalu baik justru dikerjakan dengan jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar